Sultan Serdang Tanah Negara Bebas
Sultan Serdang Di tengah maraknya isu pertanahan yang menyita perhatian publik, sebuah istilah yang terdengar sederhana namun memantik kontroversi kini kembali mengemuka: “tanah negara bebas”. Istilah ini, yang kerap digunakan dalam diskusi seputar lahan-lahan eks-HGU (Hak Guna Usaha), kini menjadi sorotan tajam dari salah satu tokoh adat paling berpengaruh di Sumatera Timur, Sultan Serdang, Tuanku Achmad Thalaa Syariful Alamsyah.
Dengan nada tegas namun sarat dengan keprihatinan, Sultan menyampaikan penolakannya terhadap penggunaan istilah tersebut. “Kami menolak istilah tanah negara bebas karena istilah ini tidak dikenal dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan justru berpotensi menyesatkan publik,” ujar Sultan dalam konferensi pers di Medan, Kamis lalu.
Namun pernyataan itu bukan sekadar gugatan terminologi. Di baliknya tersembunyi cerita panjang tentang identitas, sejarah, dan hak waris yang terlupakan.
Dari Acte van Concessie ke Lahan Tak Bertuan?
Sebagian besar tanah yang kini disebut “tanah negara bebas” sejatinya memiliki sejarah panjang. Dulu, tanah-tanah ini diberikan dalam bentuk Acte van Concessie oleh Kesultanan Serdang kepada perusahaan-perusahaan perkebunan, baik asing maupun milik negara, untuk kepentingan ekonomi dan kemakmuran bersama. Ada konsensus sosial yang menyertainya, bahkan strategi politik dan ekonomi lokal yang bijak.
“Para Sultan saat itu bukan hanya penguasa, mereka adalah arsitek pembangunan yang membuka jalan bagi investasi tanpa kehilangan akar budaya,” jelas Sultan. Namun, seiring waktu, tanah-tanah itu dikelola tanpa memperhitungkan jejak asalnya. “Kami lihat hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan negara. Tanpa dialog, tanpa hormat kepada sejarah,” imbuhnya.
Nasionalisasi yang Salah Arah?
Isu ini pun menyentuh jantung dari sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Sultan mengungkap bahwa UU Nomor 86 Tahun 1958, yang menjadi dasar nasionalisasi aset Belanda, tidak pernah dimaksudkan untuk menghilangkan hak atas tanah adat seperti milik Kesultanan Serdang.
“Nasionalisasi itu bukan untuk merampas hak Sultan sebagai warga negara Indonesia,” ujar Sultan. “Kalau aset Belanda, silakan. Tapi tanah Kesultanan? Itu warisan. Itu identitas.”
Baca Juga : Kemenkum Sumut Gencarkan Sosialisasi Kekayaan Intelektual di Daerah
Tanah Bukan Sekadar Lahan—Ia Adalah Ingatan
Apa yang sebenarnya dipertaruhkan dalam polemik ini bukan hanya hektare demi hektare kebun sawit atau properti mewah yangberdiri di atasnya. Yang dipertaruhkan adalah pengakuan terhadap sejarah lokal, terhadap entitas adat yang selama ini dianggap “usang” dalam sistem hukum modern.
“Tanah ini bukan bebas diklaim. Ia memiliki sejarah, ia menyimpan ingatan kolektif masyarakat Melayu,” kata Sultan. Dalam narasi yang berkembang saat ini, kekosongan administratif kerap disamakan dengan kekosongan sejarah. Inilah yang menurut Sultan paling berbahaya.
Dialog, Bukan Dominasi
bukan menolak kemajuan atau pembangunan. Sebaliknya, ia membuka pintu dialog dan menyerukan penyelesaian yang adil, berkeadaban, dan bermartabat.
“Kalau untuk rakyat, kami ikhlas. Tapi kalau tanah ini diputar jadi komoditas tanpa melibatkan kami, tanpa menghormati asal usulnya, itu bukan pembangunan—itu pengingkaran,” tegasnya.
Ia pun mengajak seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, masyarakat adat, akademisi, hingga pengusaha—untuk duduk bersama, merancang ulang pemahaman kita terhadap tanah, sejarah, dan hak.
Penutup: Menghidupkan Kembali Martabat
Kasus Kesultanan Serdang bukan satu-satunya. Di berbagai penjuru Nusantara, konflik antara warisan adat dan logika hukum modern terus berulang. Namun yang membedakan adalah cara kita meresponsnya: apakah kita memilih menghapus jejak demi “kebebasan tanah”, ataukah kita memilih membangun masa depan dengan fondasi sejarah yang utuh.
Sultan Serdang tidak menuntut pengembalian mahkota. Ia hanya menuntut pengembalian martabat